Selasa, 31 Maret 2009

Turi-turianni Parpadanan Sihombing Lumbantoruan dengan Naibaho

Horas dihita sude,
sebuah Legenda/cerita kuno yang mengisahkan awal mula parpadanan (Sumpah) antara Marga Sihombing Lumbantoruan dengn Marga Naibaho. Saya akan coba menuliskan turi-turian (cerita) ini dalam bahasa Indonesia sehari-hari.
#Dahulu kala di daerah Humbang tengah terjadi peperangan antara Marga Sihombing dengan Marga Marbun. Jika kita ambil data-data tarombo marga, dalam hal cerita ini yang sedang berperang adalah Marga Sihombing yang bernama Op.Raung Nabolon yang memiliki 3 anak yaitu : Op.Hombar Najolo, op.Ginjang Manubung dan Op.Pande Namora. Sundut(Generasi) Nomor 4 dan Nomor 5 terhitung dari Borsak Sirumonggur Lumbantoruan (sesuai dengan aturan penomoran generasi marga Sihombing Lumbantoruan).
#Jauh diseberang Danau Toba,tepatnya di pulau Samosir daerah Pangururan bermukim marga Naibaho ( anak pertama dari Siraja Oloan); ada keturunannya seorang Datubolon (Dukun pendekar sakti) yang bernama op.Datu Galapang. op.Datu Galapang ini dikenal sebagai pangaranto bolon (suka merantau) untuk mencari dan menjajal ilmu hasattian (kesaktian).
Terjadilah sebuah kisah memilukan dimana op.Datu Galapang mardenggan-denggan (berhubungan) dengan ibotonya sendiri yaitu namboru Siboru Naitang,sampai lahir keturunan dari mereka berdua itulah yang sekarang menjadi marga Sitindaon (sitandaon ma on=sebagai tandalah ini) atas persitiwa tersebut. Akibat dari kejadian ini membuat marah Marga Naibaho dan menjatuhkan hukuman kepada kedua pasangan terlarang tersebut. Op.Datu Galapang dibuang kehutan angker yang penuh dengan harimau buas sedangkan namboru Siboru Naitang dipanongnong (ditenggelamkan ke danau). Menurut mitos kuno yang masih dipercaya sampai sekarang, namboru SiBoru Naitang menjadi penunggu Danau Toba.
#Singkat cerita, karena kesaktiannya op.Datu Galapang berhasil meloloskan diri dari Hutan angker tersebut dan pergi ke Humbang melanjutkan perjalanannya dalam mencari ilmu. Keunikan op.Datu Galapang ini,dia hanya membawa sebilah belati utk senjatanya serta selalu membawa segumpalan tanah dan sekantung air.
Kembali ke awal cerita diatas,tengah berlangsung perang antara marga Sihombing dan marga Marbun.
Dikarenakan ada seorang pangulu balang (panglima perang) dari marga Marbun yang demikian kuat dan sakti,membuat marga Sihombing berada diambang kekalahan.
Karena Sihombing diambang kekalahan,mendengar bahwa op.Datu Galapang berada di humbang maka marga Sihombing berusaha meminta pertolongan kepadanya. Mungkin karena sudah dituntun oleh Mulajadi Nabolon (sebutan Tuhan dalam kepercayaan Batak kuno), op.Datu Galapang akhirnya membantu marga Sihombing yang sedang diambang kekalahan.
Op.Datu Galapang mendatangi wilayah marga Marbun dan bermaksud menemui panglima perang Marbun yang kuat dan sakti tersebut. Sesampainya didaerah kekuasaan Marbun,op.Datu Galapang menabur tanah dan menginjaknya serta meminum air yang dibawanya (inilah salah satu tanda kesaktiannya). Seketika datanglah Marga Marbun menghampiri dan berusaha mengusir op.Datu Galapang. Mendengar hal itu op.Datu Galapang hanya menjawab dengan perkataan : ” boasa palaohonmuna au? ia Tanokku do na hudege jala aekku do na huinum. (kenapa kalian mengusir saya? bukannkah tanahku sendiri yang kupijak dan airku sendiri yang kuminum).” Mendengar ucapan yang “tidak biasa” itu,Karena mereka sadar yang mereka temui tersebut bukan “orang sembarangan”,maka marga Marbun akhirnya memanggil panglimanya .Karena mereka sadar yang mereka temui tersebut bukan “orang sembarangan.”
Kesaktian panglima Marbun yaitu tidak dapat dibunuh selama badan dan kakinya menyentuh tanah (ilmu ini didaerah Jawa dikenal dengan ajian Rawa Ronteg ). Dengan sedikit akalnya,op.Datu Galapang mengakalinya dengan menyuruh panglima Marbun tersebut memanjat sebuah pohon mangga,karena diatas pohon tersebut terdapat sebuah mangga yang jika dimakan dapat menambah kesaktian seseorang. Ketika sang panglima memanjat pohon itu,serta merta pada saat itu kaki dan badannya tidaklah lagi menyentuh tanah.Kesempatan ini tidak disia-siakan Op.Datu Galapang, dan segera menikam tubuh panglima Marbun tersebut hingga tewas. Melihat panglimanya sudah tak berdaya lagi,semangat tempur marga Marbun menjadi mundur. Sampai akhirnya marga Marbun terkalahkan dan marga Sihombing memenangi perang tersebut.
Atas jasanya, maka op.Datu Galapang diampu (diangkat) anak oleh Marga Sihombing dan sejak saat itu sah telah menjadi Marga Sihombing bukan Naibaho lagi.Menjadi anak ke 4 dari Op.Raung Nabolon seperti telah disebutkan pada awal cerita diatas.
Demikianlah,sehingga terjadi parpadanan antara Marga Sihombing dan Naibaho.Karena jika dilihat secara genetik, keturunan marga Sihombing dari op.Datu Galapang hanya gelar marganya saja yang Sihombing Lumbantoruan,namun darah yang mengalir ditubuhnya tetap darah Raja Naibaho. Namun dikarenakan sumpah(padan) yang kuat,tidak hanya khusus kepada keturunan op.Datu Galapang saja yang tidak boleh marsibuatan (mengawini) dengan ibotonya sendiri (boru Naibaho) ;Anak dari op.Datu Galapang ada 3 yaitu : op.Tuan Guru Sinomba,op.Juara Babiat dan op.Datu Lobi. Tetapi berlaku kepada seluruh keturunan Marga Sihombing Lumbantoruan Lainnya.
Sebagai tambahan mengenai cerita diatas,sampai saat ini masih terdapat pro dan kontra apakah Marga Sihombing Lumbantoruan (khusunya keturunan dari Op.Datu Galapang) hanya berpadan dengan marga Naibaho saja, ataukah kepada ke 5 Marga Lainnya keturunan Si Raja Oloan yaitu : Sihotang,Sinambela,Bakkara,Manullang dan Sihite.Karena jika ditelaah lebih dalam dari uraian cerita diatas, op.Datu Galapang adalah keturunan langsung dari Marga Naibaho dimana didalam tubuhnya secara genetik mengalir darah Siraja Oloan???
Satu sumber menyebutkan,hanya marga Sihotang yang mau “mengikuti” padan diatas. Karena pernah diucapkan marga Sihotang kepada Marga Naibaho (sebagai haha dolinnya) : padanni Hahadoli nami siihuttonon hami do (sumpah kepada abang kami akan kami ikuti sebagai adiknya). Tapi dilain pihak ada beberapa pihak mengatakan bahwa yang marpadan hanyalah Marga Naibaho saja,bukan berarti ke 5 marga SiRaja Oloan yang lain mengikutinya. (karena ada beberapa marga Sihombing Lumbantoruan yang sudah memperisitri br.Sihotang,br.Sihite)
Padan Marga Sihombing Lumbantoruan dengan Marga Naibaho dan Marga Sitindaon tetap dipegang kuat sampai sekarang karena masih adanya hubungan pertalian darah (sisada mudar).
Perbedaan pendapat bukan untuk menjadi bibit perselisihan.Dalam hal ini penulis bukan berusaha memperdebatkan padan najolo (sumpah dahulu kala).Tetapi tidaklah lain hanya berusaha melestarikan turi-turian najolo (cerita-cerita legenda) supaya tidak hilang “digilas” kerasnya perputaran jaman.

Selasa, 24 Maret 2009

Cerita Orang Kita Batak

Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang pendekar wanita, Butet namanya. Sebelum lulus dari Pandapotan silat, ia harus menempuh ujian Nasution. Agar bisa berkonsentrasi, dia memutuskan untuk menyepi ke gunung dan berlatih.
Saat di perjalanan, Butet merasa lapar sehingga memutuskan untuk mampir di Pasaribu setempat. Beberapa pemuda tanggung yang lagi nonton sabung ayam sambil Toruan, langsung Hutasoit-soit melihat Butet yang seksi dan gayanya yang Hotma itu. Tapi Butet tidak peduli, dia jalan Sitorus memasuki rumah makan tanpa menanggapi, meskipun sebagai perempuan yang ramah tapi ia tak gampang Hutagaol dengan sembarang orang.Naibaho ikan gurame yang dibakar Sitanggang dengan Batubara membuatnya semakin berselera. Apalagi diberi sambal terasi dan Nababan yang hijau segar. Setelah mengisi perut, Butet melanjutkan perjalanan. Ternyata jalan ke sana berbukit-bukit. Kadang Nainggolan, kadang-kadang Manurung. Di tepi jalan dilihatnya banyak Pohan. Kebanyakan Pohan Tanjung. Beberapa di antaranya ada yang Simatupang diterjang badai semalam.
Begitu sampai di atas gunung, Butet berujar “Wow, Siregar kali hawanya!” katanya, berbeda dengan kampungnya yang Panggabean. Hembusan Perangin-angin pun sepoi-sepoi menyejukkan, sambil diiringi Riama musik dari mulutnya. Sejauh Simarmata memandang warna hijau semuanya. Tidak ada tanah yang Girsang, semuanya Singarimbun.
Tampak di seberang, lautan dan ikan Lumban-lumban. Terbawa suasana,mulanya Butet ingin berenang. Tetapi yang ditemukannya hanyalah bekas kolam Siringo-ringo yang akan di-Hutauruk dengan Tambunan tanah. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjalan-jalan di pinggir hutan saja, yang suasananya asri, meskipun nggak ada Tiurma melambai kayak di pantai. Sedang asik-asiknya menikmati keindahan alam, tiba-tiba dia dikejutkan oleh seekor ular yang sangat besar. “Sinaga!” teriaknya ketakutan sambil lari Sitanggang-langgang. Celakanya, dia malah terpeleset dari Tobing sehingga bibirnya Sihombing. Karuan Butet menangis Marpaung-paung lantaran kesakitan. Tetapi dia lantas ingat, bahwa sebagai pendekar pantang untuk menangis. Dia harus Togar. Maka, dengan menguat-nguatkan diri, dia pergi ke tabib setempat untuk melakukan pengobatan.
>Tabib tergopoh-gopoh Simangunsong di pintu untuk menolongnya. Tabib bilang, bibirnya harus di-Panjaitan. “Hm…, biayanya Pangaribuan.” kata sang tabib setelah memeriksa sejenak. “Itu terlalu mahal. Bagaimana kalau Napitupulu saja?” tawar si Butet. “Napitupulu terlalu murah. Pandapotan saya kan kecil”. “Jangan begitulah. Masa’ tidak Siahaan melihat bibir saya Sihombing begini?” Apa saya mesti Sihotang, bayar belakangan? Nggak mau kan? “Baiklah, tapi pakai jarum yang Sitompul saja.” sahut sang mantri agak kesal. “Cepatlah! Aku sudah hampir Munthe. Saragih sedikit tidak apa-apalah”.
Malamnya, ketika sedang asik-asiknya berlatih sambil makan kue Lubis kegemarannya, sayup-sayup dia mendengar lolongan Rajagukguk. Dia Bonar-bonar ketakutan. Apalagi ketika mendengar suara di semak-semak dan tiba-tiba berbunyi “Poltak!” keras sekali. “Ada Situmorang?” tanya Butet sambil memegang tongkat seperti stik Gultom erat-erat untuk menghadapi Sagala kemungkinan. Terdengar suara pelan, “Situmeang“. “Sialan, cuma kucing…” desahnya lega.Padahal dia sudah sempat berpikir yang Silaen-laen.
Selesai berlatih, Butet-pun istirahat. Terkenang dia akan kisah orang tentang Hutabarat di bawah Tobing pada jaman dulu di mana ada Simamora, gajah Purba yang berbulu lebat.
Keesokan harinya, Butet kembali ke Pandapotan silatnya. Di depan ruang ujian dia membaca tulisan: “Harahap tenang! Ada ujian. “Wah telat, emang udah jam Silaban sih”. Maka Siboru-boru dia masuk ke ruangan sambil menyanyi-nyanyi. Di-Tigor-lah dia sama gurunya “Butet, kau jangan ribut! Bikin kacau konsentrasi temanmu! Butet, dengan tanpa Malau-malau langsung Sijabat tangan gurunya, “Nggak Pakpahan guru, sekali-sekali?!”.
Akhirnya, luluslah Butet dan menjadi orang yang disegani karena mengikuti wejangan guru Pandapotan silatnya untuk selalu Simanjuntak gentar dan Sinambela yang benar!